Sejak awal terbentuknya negara di muka bumi
ini sampai zaman modern sekarang telah banyak dikenal beberapa sistem pemerintahan
yang dianut dan diterapkan. Misalnya sistem monarki baik yang absolut maupun
yang moderat; sistem teokrasi, yakni sistem pemerintahan yang berdasarkan
kepercayaan bahwa penguasa mendapat mandat langsung dari Tuhan; sistem
autokrasi, yakni pemerintahan dengan kekuasaan mutlak pada diri
seseorang; dan sistem demokrasi, yaitu pemerintahan yang memberi kekuasaan
sepenuhnya kepada rakyat. Sistem demokrasi ini sangat beragam corak dan
bentuknya. Dari beberapa sistem pemerintahan tersebut lalu muncul pertanyaan, di
manakah posisi sistem pemerintahan Islam? Apakah teokratis, monarkis,
autokratis, atau demokratis dengan pengertian sebagaimana dikehendaki oleh
penciptanya, yakni beberapa filosof Yunani kuno, atau demokrasi sebagaimana
dipahami dan diterapkan di dunia barat sekarang?
Dalam ketatanegaraan Islam, sistem khilafah
dan sistem pemerintahan Islam adalah dua ungkapan yang memiliki mafhum (pemahaman)
yang berbeda dengan maashadaq (substansi) yang sama. Artinya, sistem khilafah
dan sistem pemerintahan Islam secara bahasa memiliki pengertian yang berbeda,
tapi bermuara pada maksud dan tujuan yang sama. Disebut sistem pemerintahan
Islam karena bertujuan atau berorientasi pada terwujudnya syariat Islam dan
dibangun atas prinsip-prinsip Islam. Pemerintahan ini dipimpin oleh seorang imam
yang disebut dengan nama “Khalifah” yang berarti pengganti atau penerus. Sebab,
secara langsung atau tidak langsung seorang pemimpin menjadi pengganti
Rasululllah SAW dalam memikul dua tugas besar kenabian, yaitu menjaga agama dan
mengatur dunia (حِرَاسَةُ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةُ الدُّنْيَا).
Oleh sebab itu, sistem pemerintahan ini kemudian lazim disebut khilafah
(kekhalifahan).
Adapun prinsip-prinsip yang harus mendasari sistem
pemerintahan Islam adalah sebagai berikut:
1.
Kesetaraan
(الْمُسَاوَاةْ)
Kesetaraan
di antara umat manusia merupakan prinsip Islam yang terbangun di atas i’tiqad
bahwa seluruh manusia, laki-laki dan perempuan, adalah anak keturuan Adam,
seperti dijelaskan Allah SWT dalam sebuah firman-Nya,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً. (النساء: 1)
Artinya: Wahai
manusia, bertaqwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari
satu jiwa yang sama (Adam) dan dari jiwa tersebut Dia menciptakan pasangannya,
dan menganakpinakkan dari kedua pasangan itu dengan keturuan laki-laki dan
perempuan yang banyak.
Makna
ayat ini dikuatkan oleh dua sabda Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
وَالنَّاسُ بَنُو آدَمَ ، وَخَلَقَ اللَّهُ آدَمَ مِنْ تُرَابٍ
Artinya: Manusia
adalah anak keturunan Nabi Adam AS, dan Allah SWT menciptakan Nabi Adam AS dari
tanah. (HR Imam al-Turmudziy)
وَالنَّاسُ سَوَاءٌ كَأَسْنَانِ الْمُشْطِ
Artinya:
Manusia itu sama rata seperti gigi sisir. (HR Imam Muslim)
Tentang posisi perempuan, Rasulullah SAW
melukiskan bahwa mereka adalah mitra laki-laki (النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ)
dan beliau menyebut Khaddam sebagai saudara. Hal ini sebagaimana disabdakan Nabi SAW,
إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ جَعَلَهُمُ اللَّهُ فِتْيَةً تَحْتَ أَيْدِيْكُمْ فَمَنْ كَانَ أَخُوْهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِنْ طَعَامِهِ وَلْيُلْبِسْهُ من لِبَاسِهِ ولا يُكَلِّفْهُ مَا يَغْلِبُهُ فَإِنْ كَلَّفَهُ مَا يَغْلِبُهُ فَلْيُعِنْهُ
Artinya:
Pelayanmu itu saudara-saudaramu yang Allah SWT telah menjadikan mereka berada
di bawah kendalimu. Maka, barangsiapa yang menjadi tuan atas saudaranya itu
hendaklah dia memberinya makan dari makanannya sendiri dan memberinya pakaian
dari pakaiannya sendiri serta tidak membebaninya dengan sesuatu yang dia tidak
mampu. Maka, bila dia terbebani dengan sesuatu yang dia sendiri tidak mampu
hendaklah dia dibantu. (HR Imam al-Turmudziy)
Dari itulah, derajat manusia itu sesungguhnya
sama, kewajibannya sama, dan hak-haknya juga sama. Warna kulit, bahasa, etnis,
kedudukan, keturunan, kekayaan, dan lain-lain, tidak bisa dijadikan alasan
untuk mengunggulkan sebagian manusia atas sebagian lainnya. Pemberian hak
istemewa karena faktor warna kulit, etnis, keturunan, kasta, harta atau
kedudukan adalah bertentangan dengan prinsip dan akidah Islam yang menyatakan
bahwa manusia berasal dari asal yang sama. Keunggulan antara yang satu dengan
yang lain hanyalah dapat diperoleh melalui ketaqwaan atau prestasi.
Penulis
tertarik untuk mengemukakan apa yang diceritakan oleh sahabat Abu Hurairah
tentang dirinya,
نَشَأتُ يَتِيمًا، وَهَاجَرَتُ مِسْكِينًا، وَكُنْتُ أَجِيرًا لِابْنةِ غَزْوَانَ بِطَعَامِ بَطْنِي وَعُقْبَةِ رِجْلِي، أَحْدُو بِهِمْ إِذَا رَكِبُوا وَأَحْتَطِبُ إِذَا نَزَلُوا، فَالْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَعَلَ الدِّينَ قِوَامًا وَأَبَا هُرَيْرَةَ إِمَامًا.
Artinya: Aku
tumbuh dalam keadaan yatim, dan hijrah (ke Madinah) dalam kondisi miskin, aku
menjadi buruh bagi puteri Ghazwan dengan (imbalan) makanan untuk (mengganjal)
perutku, aku menggiring unta mereka bila mereka sedang berkendaraan (di atas
unta), aku mengumpulkan kayu bakar untuk mereka bila mereka turun (dari unta).
Maka, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Agama sebagai pondasi dan
menjadikan Abu Hurairah sebagai pemimpin.
2.
Keadilan
(العَدَالةْ)
Keadilan
merupakan prinsip asasi yang sangat ditekankan dalam Islam. Perintah berbuat
adil dinyatakan berulang kali di dalam Alqur’an, terutama dalam konteks
penegakan hukum. Misalnya, firman Allah,
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ. (النساء: 58)
Artinya: Apabila
kalian memutuskan hukum di antara manusia maka putuskanlah dengan adil. (QS
al-Nisa’: 58)
Keadilan
harus ditegakkan kepada siapa pun, baik kawan ataupun lawan. Hal ini sebagaimana
ditegaskan dalam Alqur’an,
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا. (المائدة:
8)
Artinya:
Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. (QS al-Maidah: 8)
Rasulullah
SAW menjadikan perilaku adil sebagai amal ibadah yang paling agung. Dalam sebuah
atsar (sebagian kalangan mengatakan ini Hadis) dinyatakan,
يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ إِمَامٍ عَادِلٍ أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةِ سِتِّينَ سَنَةً
Artinya: Satu
hari di antara hari-harinya pemimpin yang adil itu lebih baik daripada ibadah
enam puluh tahun.
Dalam
tataran praksis, keadilan diwujudkan dengan membuat perlakukan sama terhadap
semua manusia, dan memosisikan mereka sesuai dengan sifat dan kondisinya
masing-masing. Maka, setiap orang yang mempunyai prestasi berhak mendapatkan reward
(hadiah atau pujian), sebagaimana setiap orang yang bersalah berhak atau wajib
mendapatkan punishment (hukuman atau sanksi). Setiap orang yang memiliki
integritas dan kapabilitas berhak mendapatkan jabatan tertentu, setiap orang
yang diyakini benar harus dibela, dan setiap orang yang diyakini salah tidak
perlu dibela. Dengan demikian, menyerahkan tugas atau amanat kepada orang yang
bukan ahlinya adalah sebuah kezaliman.
Salah
satu contoh bagaimana keadilan dalam Islam diterapkan terlihat dalam sebuah
kisah sengketa di zaman Nabi Muhammad SAW. Suatu ketika terjadi pencurian yang
dilakukan oleh seorang muslim bernama Thi’mah bin Ubairiq. Ia mencuri baju besi
milik tetangga sebelahnya bernama Qatadah. Thi’mah sengaja menitipkan barang
curiannya itu kepada seorang Yahudi bernama Zaid bin Samin. Si Yahudi itu tentu
saja kaget ketika pemilik baju besi datang mencarinya. Dia hanya bisa
menjelaskan dengan sebenarnya bahwa barang itu dia terima dari Thi’mah sebagai
titipan, dan penjelasan itu diamini oleh kaumnya. Akan tetapi, Thi’mah sebagai
pencuri yang sesungguhnya dibela mati-matian oleh kaumnya sendiri, bahkan
mereka mendatangi baginda Nabi SAW dan memberi kesaksian palsu di hadapan
beliau bahwa pencurinya adalah seorang Yahudi, bukan Thi’mah. Hampir saja Nabi SAW
percaya dan hendak bertindak. Akhirnya, persoalan menjadi clear bahwa si
Yahudi tidak bersalah dan Thi’mah adalah pencuri yang harus dihukum dengan
turunnya ayat,
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا. وَاسْتَغْفِرِ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا. وَلَا تُجَادِلْ عَنِ الَّذِينَ يَخْتَانُونَ أَنْفُسَهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ خَوَّانًا أَثِيمًا. يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا. (النساء: 105
– 108)
Artinya:
Sesungguhnya Kami (Allah) menurunkan al-Kitab (Alqur’an) kepadamu (Muhammad)
dengan membawa kebenaran, supaya kamu menetapkan hukum di antara manusia sesuai
dengan petunjuk yang telah diperlihatkan Allah kepadamu, dan janganlan kamu
menjadi penentang (orang-orang yang tidak bersalah) karena membela orang-orang
yang berkhianat (105) Dan mintalah ampun kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (106) Dan janganlah kamu berdebat (untuk
membela) orang-orang yang berkhianat kepada dirinya sendiri, sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang yang suka khianat lagi bergelimang dosa (107) Mereka
bersembunyi dari manusia, dan tidak bisa bersembunyi dari Allah sementara Dia
(Allah) bersama-sama mereka, ketika suatu malam mereka menetapkan perkataan
(keputusan) yang tidak dirido’i Allah, dan Allah mengetahui apa-apa yang mereka
lakukan secara menyeluruh. (QS al-Naisa’: 105 – 108)
3.
Musyawarah
(الشُّوْرَى)
Salah
satu ayat Alqur’an yang menjadi acuan prinsip syura (musyawarah) dalam
Islam adalah ayat ke-38 dari sebuah surah Alqur’an yang bernama al-syura,
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ. )الشورى: 38)
Artinya: Urusan
mereka (diputuskan melalui) musyawarah di antara mereka. (QS al-Syura: 38)
Akan
tetapi, ayat tersebut tidak lebih dari sekedar memberi penjelasan bahwa budaya
musyawarah merupakan salah satu sifat terpuji kaum mukmin, dan tidak mengandung
petunjuk bahwa musyawarah adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh mereka.
Sedangkan keharusan melakukan musyawarah diambil dari firman Allah dalam surah
Ali Imran ayat 159,
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ. (آل
عمران: 159)
Artinya: Bermusyawarahlah kalian dalam
suatu persoalan.
Perintah
bermusyawarah dalam ayat ini pertama-tama tertuju kepada Rasulullah SAW, baik
sebagai pribadi atau selaku nabi yang sekaligus pemimpin bagi kaum muslimin,
dan berlaku juga bagi umatnya terutama yang sedang mendapatkan amanat menjadi
pemimpin.
Prinsip
syura dikukuhkan kembali oleh baginda Nabi SAW melalui sabdanya,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
مَا خَابَ مَنِ اسْتَخَارَ وَلاَ نَدِمَ مَنِ اسْتَشَارَ وَلاَ عَالَ مَنِ اقْتَصَدَ.
Artinya: Dari
Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: tidak rugi orang yang
beristikharah dan tidak pernah menyesal orang yang bermusyawarah dan tidak
menjadi fakir orang yang hidup ekonomis. (HR Imam Bukhari)
Dalam
salah satu atsar juga ditegaskan,
اِسْتَعِيْنُوْا عَلَى أُمُوْرِكُمْ بِالْمُشَاوَرَةِ
Artinya: Mintalah pertolongan atas
urusan-urusan kalian dengan musyawarah.
Di
kalangan ulama terjadi perbincangan tentang persoalan-persoalan yang harus
dipecahkan melalui musyawarah. Dengan melihat keumuman lafazh الْأَمْرِ
dalam ayat وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ,
penulis cenderung pada pendapat yang mengatakan bahwa perintah musyawarah
berhubungan dengan semua persoalan keagamaa dan keduniaan, seperti dalam ranah
politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain, kecuali persoalan-persoalan
yang telah memiliki acuan nash qath’iy. Jadi, yang perlu
dimusyawarahkan adalah hal-hal yang bersifat ijtihadiyyah, baik diniyah
maupun dunyawiyah, dengan catatan hasilnya tidak bertentangan dengan
syari’at, tujuan syari’at, dan prinsip-prinsip syari’at.
4.
Kebebasan
(الحُرِّيَّة)
Kebebasan
merupakan hak melekat yang tidak pernah lepas dari manusia sebagai makhluk yang
mendapat anugerah al-karamah (kemuliaan) dari Allah SWT. Hal ini
sebagaimana firman Allah SWT,
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ (الإسراء:
70)
Artinya: Sungguh telah Kami (Allah)
muliakan anak keturuan Adam. (QS al-Isra’: 70)
Berkaitan
dengan soal ini, Sayyidina Utsman bin ‘Affan RA berkata kepada gubernurnya di
Mesir (‘Amr bin ‘Ash),
مَتَى اسْتَعْبَدْتُمُ النَّاسَ وَقَدْ وَلَدَتْهُمْ أُمَّهَاتُهُمْ أَحْرَارا
Artinya: Sejak
kapan kamu memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan ibunya dalam keadaan
merdeka.
Sayyidina
‘Ali bin Abi Thalib RA juga pernah berkata dalam hal yang sama,
وَلَا تَكُنْ عَبْدَ غَيْرِك وَقَدْ جَعَلَك اللَّهُ حُرًّا
Artinya:
Janganlah kamu menjadi hamba orang lain, karena Allah menciptakan kamu dalam
keadaan merdeka.
Setiap muslim pasti pernah membuat pernyataan secara
lisan bahwa tiada tuhan selain Allah (لآإِلهَ إِلاَّ الله).
Pernyataan ini menjadi syarat mutlak bagi setiap orang agar dapat diakui
sebagai seorang muslim. Pernyataan tersebut pada hakikatnya
adalah deklarasi pembebasan manusia dari belenggu penghambaan manusia lain.
Sehingga, penghambaan murni yang sesungguhnya hanya kepada Allah SWT dan
ketundukan serta ketaatan hanya kepadaNya semata. Sedangkan manusia berada pada
posisi dan derajat yang sama, sehingga tidak ada sebagian manusia yang lebih
berhak untuk ditaati dari sebagian manusia lainnya. Akan tetapi, ada pihak-pihak
yang Allah mewajibkan manusia menaati perintah-perintahnya, seperti dijelaskan
dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ. (النساء:
59)
Artinya: Wahai
orang-orang yang beriman, patuhlah kalian kepada Allah, dan patuhlah pula
kepada Rasulullah dan juga pada ulil amri di antara kalian. (QS al-Nisa’: 59)
Ini
berarti bahwa kewajiban taat kepada Rasulullah SAW, ulil amri, termasuk
juga kepada orang tua dan guru adalah dalam kerangka taat kepada Allah. Oleh
karena itu, kewajiban taat kepada ulil amri dan sebagainya bersifat tidak
mutlak, tetapi diberi syarat dengan perintah-perintah yang tidak bertentangan
dengan syari’at.
Allah
SWT melalui syari’at-Nya memberi ruang kebebasan bagi hamba-Nya, termasuk di
dalamnya kebebasan beragama, kebebasan berfikir dan kebebasan menyatakan
pendapat. Ruang ini cukup luas, sehingga perlu dibatasi dengan hal-hal sebagai
berikut:
a.
Kebebasan
itu tidak menodai harkat dan martabat kemanusiaan sebagai makhluk terhormat;
b.
Tidak
mengganggu hak orang lain; dan
c.
Tidak
melawan aturan, baik aturan syar’iy ataupun aturan hasil kesepatakan
bersama sepanjang itu bernilai baik dan tidak bertentangan dengan syari’at.
Pada prinsipnya, penguasa dan negara harus memberi
ruang kebebasan dalam berbagai macam manifestasi keagamaan, pemikiran, politik
dan budaya dalam koridor syari’at dan aturan yang berlaku.
5.
Pengawasan
Rakyat (رِقَابَة الْأُمَّةْ)
Dalam
syari’at Islam, rakyat suatu negara mempunyai hak atau kewajiban untuk
mengawasi, mengontrol, menasihati, dan mengkritik pemimpin yang mereka pilih.
Kritik yang dimaksud adalah kritik membangun yang berorientasi pada kebaikan
bersama, pemimpin dan yang dipimpin. Suatu ketika Rasulullah SAW pernah ditanya
oleh sahabatnya, untuk siapa nasihat itu,
عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّمَا الدِّينُ النَّصِيحَةُ ثَلاثًا، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَأَئِمَّةِ الْمُؤْمِنِينَ وَعَامَّتِهِمْ.
Artinya: Dari
Tamim al-Dariy, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Agama itu tidak lebih dari nasihat
(diulang-ulang tiga kali). Beliau kemudian ditanya: untuk siapa nasihat itu wahai
Rasul? Beliau menjawab: (nasihat itu) Untuk Allah, kitabnya, Rasulnya, para
pemimpin orang-orang mukmin, dan seluruh umat. (HR Imam Ahmad)
Pada
waktu yang sama, seorang pemimpin harus siap dan merasa butuh akan adanya
kritik, sebagaimana diperlihatkan oleh Sayyidina ‘Umar dengan pernyataannya,
مَن رَأَى مِنْكُمْ فيَّ اعْوِجَاجًا فَلْيُقَوِّمْهُ
Artinya:
Barangsiapa ada yang melihat sesuatu yang bengkok pada diriku maka luruskanlah.
Sesungguhnya
nasihat dan kritik rakyat pada pemimpinnya merupakan bagian dari pelaksanaan amr
ma’ruf nahy munkar yang menjadi salah satu pilar syari’at Islam. Itulah
beberapa prinsip penting yang bila suatu pemerintahan dijalankan dan dibangun
di atas prinsip tersebut maka akan terwujudlah hakikat khilafah atau
sistem pemerintahan Islam, baik dinyatakan demikian atau tidak.
Adapun
tujuan khilafah atau sistem pemerintahan Islam –seperti dikemukakan di
awal— adalah terwujudnya maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan syari’ah),
demi kebahagiaan dan kesejarhteraan umat dunia-akhirat, atau dengan ibarat lain
demi terjaganya Agama dan terwujudnya tata atur dunia yang berkeadilan dan
berkemaslahatan (حِرَاسَةُ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةُ الدُّنْيَا).
Oleh karena itu, undang-undang, peraturan, dan kebijakan pemerintahan tidak
boleh bertentangan dengan syari’at dan kemaslahatan umat.
Selanjutnya,
bagaimana hubungan sistem pemerintahan Islam (khilafah) dengan
sistem teokrasi, monarki, otokrasi, atau demokrasi? apakah beberapa sistem
pemerintahan tersebut islami atau tidak? Berikut ini adalah paparannya.
a.
Teokrasi
Teokrasi
adalah sistem pemerintahan yang berdasarkan kepercayaan bahwa pemimpin atau
penguasa mendapatkan mandat dan otoritas langsung dari Tuhan dan hanya
bertanggung jawab kepada tuhan yang telah memilihnya, sedangkan rakyat wajib
tunduk sepenuhnya kepada penguasa.
Sistem yang dominan diterapkan pada abad ke-17 dan 18, khususnya di Prancis
sebelum terjadi revolusi, jelas tidak islami karena mengabaikan prinsip syura,
kesetaraan, keadilan dan pengawasan rakyat.
b.
Monarki
Monarki
adalah sistem pemerintahan di mana pemimpin tertingginya naik tahta tidak
berdasarkan pilihan rakyat karena suksesi terjadi secara turun temurun. Dari
segi prosesnya, sistem monarki ini jelas tidak islami karena mengabaikan prinsp
syura, apalagi monarki yang absolut di mana kekuasaan tertinggi ada di
tangan seorang raja.
Ketentuan
hukum Islam yang tidak membenarkan sistem pemerintahan monarki sedikit bisa
menjawab sebuah pertanyaan, apa hikmah ilahiyyah di balik tidak adanya
putera laki-laki bagi baginda Nabi SAW yang akan menggantikan posisi beliau
sebagai pemimpin umat? Sebab, seandainya putera laki-laki itu ada, dapat
dipastikan kaum muslimin akan memilihnya menjadi pemimpin negara menggantikan Nabi
SAW dan suksesi kepemimpinan selanjutnya akan terjadi secara turun temurun.
c.
Autokrasi
Autokrasi
adalah sistem pemerintahan di mana pemimpin tertingginya kebal terhadap hukum,
kehendak kekuasaannya tidak dapat dihalangi oleh siapa pun, dan kebebasan rakyat
dengan pengertian yang sesungguhnya menjadi sesuatu yang tak bernilai baginya.
Dengan demikian, sistem ini sangat bertolak belakang dengan sistem pemerintahan
Islam yang dibangun di atas prinsip syura, kebebasan, persamaan dan
keadilan terhadap siapa pun, tak terkecuali terhadap pemerintah. Sedangkan apa
yang pernah terjadi dalam sejarah bahwa ada khalifah atau pemimpin kaum
muslimin yang bertindak sewenang-wenang, bahkan zalim, itu adalah di luar
tanggung jawab Islam dan sangat mencoreng nama baik Agama ini.
d.
Demokrasi
Sistem
demokrasi adalah sistem pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi, sehingga apa yang menjadi kehendak rakyat tidak bisa
diganggu gugat oleh siapa pun.
Maka, segala aturan, ketentuan dan kebijakan yang diputuskan oleh rakyat
melalui wakil-wakil mereka di parlemen, baik berdasarkan suara mufakat atau
suara mayoritas, harus dilaksanakan oleh pemimpin eksekutif. Inilah demokrasi
menurut apa yang dipahami dan diterapkan di dunia barat dan beberapa negara
sekarang ini. Sistem ini memiliki beberapa prinsip yang relatif sama dengan
prinsip pemerintahan Islam, yaitu menegakkan prinsip persamaan, keadilan, dan
pengawasan rakyat. Namun ada satu hal yang membuat sistem ini tidak Islami,
yaitu kemutlakan kehendak rakyat yang tidak dapat dianulir kecuali oleh rakyat
sendiri, sementara Islam mengapresiasi kehendak rakyat sebagai keputusan yang
harus dilaksanakan apabila tidak bertentangan dengan syari’at. Dalam konteks
ini Allah SWT berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ.
(الأحزاب: 36)
Artinya: Tidak
ada pilihan lain bagi seorang Mukmin laki-laki dan perempuan tentang urusan
mereka, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan. (QS al-Ahzab: 36)
Model
demokrasi ini bisa menjadi sistem yang islami bila kedaulatan dan kehendak
rakyat tidak bersifat mutlak, melainkan dengan catatan harus tidak bertentangan
dengan syari’at.
Negara
Islam yang berbasis pada sistem khilafah idealnya harus menyatu sehingga
hanya ada satu negara Islam di seluruh dunia yang dipimpin oleh seorang Khalifah
bergelar Amirul Mukminin yang menguasai seluruh wilayah tempat domisili
kaum muslimin. Dengan demikian, tujuan izzul islam wa al-muslimin (Islam
yang kuat dan kaum muslimin yang jaya) akan menjadi gampang terwujud.
Apa
yang ideal ini pernah terjadi dalam sejarah tetapi tidak berlangsung lama,
yaitu hanya dalam waktu tidak lebih dari tiga abad terhitung dari zaman
Rasulullah SAW. Setelah itu, Negara Islam membelah menjadi beberapa negara,
misalnya berdiri negara Umawiy yang ke-2 di Spanyol (317-423 H.), khilafah
Fathimiyyah di Maroko (267-567 H.), kemudian khilafah ini pindah ke
Mesir pada tahun 372 H.
Menurut hemat penulis, menyatunya negara khilafah adalah tujuan ideal yang
perlu diperjuangkan dengan tetap memerhatikan kondisi riil secara bijak dan
penuh hikmah yang dibangun di atas dua kaedah berikut:
اَلْأَخْذُ بِأَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ
Artinya: Mengambil yang lebih ringan
di antara dua kemudaratan.
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Artinya: Menolak mafsadah
(kerusakan) diprioritaskan atas memperoleh mashlahah (kemaslahatan).
Sebagai
suatu catatan, menyatunya negara khilafah tidaklah menjadi syarat sahnya
negara menurut pandangan Islam, karena yang terpenting adalah terwujudnya maqashid
al-syari’ah melalui suatu negara dengan sistem pemerintahan yang dibangun
di atas prinsip-prinsip Islam seperti musyawarah, keadilan, persamaan, dan
pengawasan rakyat.