IPPES Syamtalira Aron mengadakan rapat umum

Ramadhan 1439 Hijriah kembali mengenakan safari Ramadhan ke Desa-desa di Kecamatan Syamtalira Aron, hal ini sesuai hasil rapat umum pengurus dan anggota Ikatan Pelajar Pesantren (IPPES) di Komplek Dayah Babul Huda Meuria Aron.
Safari Ramadhan akan dilaksanakan mulai malam ke-3 Ramadhan dengan terbentuk Lima rombongan safari. Turut hadir juga dalam rapat Umum tahun ini Waled Mustafa Isa (Pimpinan LPI. Darul Falah Pulo) yang juga pendiri organisasi, turut serta Abuya Syahrial (ketua Periode 2006-2009) dan Abi Fauzi Ilyas Pimpinan Pesantren tempat diadakan Musyawarah Besar IPPES.
Abi Fauzi berpesan "IPPES dilandasi keikhlasan dan persaudaraan, berbuatlah yang terbaik untuk organisasi jangan sampai organisasi ini mati di tangan kalian"
Ketua baru IPPES Tgk. Munar Siddiq juga mengharapkan Segala dukungan dari seluruh anggota dan simpatisan agar IPPES kedepannya lebih maju dan berkembang.







Sistem Pemerintahan Khilafah dalam Ketatanegaraan Islam

Sistem Pemerintahan Khilafah dalam Ketatanegaraan Islam


Sejak awal terbentuknya negara di muka bumi ini sampai zaman modern sekarang telah banyak dikenal beberapa sistem pemerintahan yang dianut dan diterapkan. Misalnya sistem monarki baik yang absolut maupun yang moderat; sistem teokrasi, yakni sistem pemerintahan yang berdasarkan kepercayaan bahwa penguasa mendapat mandat langsung dari Tuhan; sistem autokrasi, yakni  pemerintahan dengan kekuasaan mutlak pada diri seseorang; dan sistem demokrasi,  yaitu pemerintahan yang memberi kekuasaan sepenuhnya kepada rakyat. Sistem demokrasi ini sangat beragam corak dan bentuknya. Dari beberapa sistem pemerintahan tersebut lalu muncul pertanyaan, di manakah posisi sistem pemerintahan Islam? Apakah teokratis, monarkis, autokratis, atau demokratis dengan pengertian sebagaimana dikehendaki oleh penciptanya, yakni beberapa filosof Yunani kuno, atau demokrasi sebagaimana dipahami dan diterapkan di dunia barat sekarang?
Dalam ketatanegaraan Islam, sistem khilafah dan sistem pemerintahan Islam adalah dua ungkapan yang memiliki mafhum (pemahaman) yang berbeda dengan maashadaq (substansi) yang sama. Artinya, sistem khilafah dan sistem pemerintahan Islam secara bahasa memiliki pengertian yang berbeda, tapi bermuara pada maksud dan tujuan yang sama. Disebut sistem pemerintahan Islam karena bertujuan atau berorientasi pada terwujudnya syariat Islam dan dibangun atas prinsip-prinsip Islam. Pemerintahan ini dipimpin oleh seorang imam yang disebut dengan nama “Khalifah” yang berarti pengganti atau penerus. Sebab, secara langsung atau tidak langsung seorang pemimpin menjadi pengganti Rasululllah SAW dalam memikul dua tugas besar kenabian, yaitu menjaga agama dan mengatur dunia (حِرَاسَةُ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةُ الدُّنْيَا)[1]. Oleh sebab itu, sistem pemerintahan ini kemudian lazim disebut khilafah (kekhalifahan).
Adapun prinsip-prinsip yang harus mendasari sistem pemerintahan Islam adalah sebagai berikut:
1.    Kesetaraan (الْمُسَاوَاةْ)
Kesetaraan di antara umat manusia merupakan prinsip Islam yang terbangun di atas i’tiqad bahwa seluruh manusia, laki-laki dan perempuan, adalah anak keturuan Adam, seperti dijelaskan Allah SWT dalam sebuah firman-Nya,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً. (النساء: 1)
Artinya: Wahai manusia, bertaqwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari satu jiwa yang sama (Adam) dan dari jiwa tersebut Dia menciptakan pasangannya, dan menganakpinakkan dari kedua pasangan itu dengan keturuan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Makna ayat ini dikuatkan oleh dua sabda Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
وَالنَّاسُ بَنُو آدَمَ ، وَخَلَقَ اللَّهُ آدَمَ مِنْ تُرَابٍ
Artinya: Manusia adalah anak keturunan Nabi Adam AS, dan Allah SWT menciptakan Nabi Adam AS dari tanah. (HR Imam al-Turmudziy)  [2]
وَالنَّاسُ سَوَاءٌ كَأَسْنَانِ الْمُشْطِ
Artinya: Manusia itu sama rata seperti gigi sisir. (HR Imam Muslim)  [3]
Tentang posisi perempuan, Rasulullah SAW melukiskan bahwa mereka adalah mitra laki-laki (النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ) dan beliau menyebut Khaddam sebagai saudara. Hal ini  sebagaimana disabdakan Nabi SAW,
إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ جَعَلَهُمُ اللَّهُ فِتْيَةً تَحْتَ أَيْدِيْكُمْ فَمَنْ كَانَ أَخُوْهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِنْ طَعَامِهِ وَلْيُلْبِسْهُ من لِبَاسِهِ ولا يُكَلِّفْهُ مَا يَغْلِبُهُ فَإِنْ كَلَّفَهُ مَا يَغْلِبُهُ فَلْيُعِنْهُ
Artinya: Pelayanmu itu saudara-saudaramu yang Allah SWT telah menjadikan mereka berada di bawah kendalimu. Maka, barangsiapa yang menjadi tuan atas saudaranya itu hendaklah dia memberinya makan dari makanannya sendiri dan memberinya pakaian dari pakaiannya sendiri serta tidak membebaninya dengan sesuatu yang dia tidak mampu. Maka, bila dia terbebani dengan sesuatu yang dia sendiri tidak mampu hendaklah dia dibantu. (HR Imam al-Turmudziy)  [4]
Dari itulah, derajat manusia itu sesungguhnya sama, kewajibannya sama, dan hak-haknya juga sama. Warna kulit, bahasa, etnis, kedudukan, keturunan, kekayaan, dan lain-lain, tidak bisa dijadikan alasan untuk mengunggulkan sebagian manusia atas sebagian lainnya. Pemberian hak istemewa karena faktor warna kulit, etnis, keturunan, kasta, harta atau kedudukan adalah bertentangan dengan prinsip dan akidah Islam yang menyatakan bahwa manusia berasal dari asal yang sama. Keunggulan antara yang satu dengan yang lain hanyalah dapat diperoleh melalui ketaqwaan atau prestasi.
Penulis tertarik untuk mengemukakan apa yang diceritakan oleh sahabat Abu Hurairah tentang dirinya,
نَشَأتُ يَتِيمًا، وَهَاجَرَتُ مِسْكِينًا، وَكُنْتُ أَجِيرًا لِابْنةِ غَزْوَانَ بِطَعَامِ بَطْنِي وَعُقْبَةِ رِجْلِي، أَحْدُو بِهِمْ إِذَا رَكِبُوا وَأَحْتَطِبُ إِذَا نَزَلُوا، فَالْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَعَلَ الدِّينَ قِوَامًا وَأَبَا هُرَيْرَةَ إِمَامًا.[5]
Artinya: Aku tumbuh dalam keadaan yatim, dan hijrah (ke Madinah) dalam kondisi miskin, aku menjadi buruh bagi puteri Ghazwan dengan (imbalan) makanan untuk (mengganjal) perutku, aku menggiring unta mereka bila mereka sedang berkendaraan (di atas unta), aku mengumpulkan kayu bakar untuk mereka bila mereka turun (dari unta). Maka, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Agama sebagai pondasi dan menjadikan Abu Hurairah sebagai pemimpin.
2.    Keadilan (العَدَالةْ)
Keadilan merupakan prinsip asasi yang sangat ditekankan dalam Islam. Perintah berbuat adil dinyatakan berulang kali di dalam Alqur’an, terutama dalam konteks penegakan hukum. Misalnya, firman Allah,
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ. (النساء: 58)
Artinya: Apabila kalian memutuskan hukum di antara manusia maka putuskanlah dengan adil. (QS al-Nisa’: 58)
Keadilan harus ditegakkan kepada siapa pun, baik kawan ataupun lawan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Alqur’an,
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا. (المائدة: 8)
Artinya: Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. (QS al-Maidah: 8)
Rasulullah SAW menjadikan perilaku adil sebagai amal ibadah yang paling agung. Dalam sebuah atsar (sebagian kalangan mengatakan ini Hadis) dinyatakan,
يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ إِمَامٍ عَادِلٍ أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةِ سِتِّينَ سَنَةً
Artinya: Satu hari di antara hari-harinya pemimpin yang adil itu lebih baik daripada ibadah enam puluh tahun. [6]
Dalam tataran praksis, keadilan diwujudkan dengan membuat perlakukan sama terhadap semua manusia, dan memosisikan mereka sesuai dengan sifat dan kondisinya masing-masing. Maka, setiap orang yang mempunyai prestasi berhak mendapatkan reward (hadiah atau pujian), sebagaimana setiap orang yang bersalah berhak atau wajib mendapatkan punishment (hukuman atau sanksi). Setiap orang yang memiliki integritas dan kapabilitas berhak mendapatkan jabatan tertentu, setiap orang yang diyakini benar harus dibela, dan setiap orang yang diyakini salah tidak perlu dibela. Dengan demikian, menyerahkan tugas atau amanat kepada orang yang bukan ahlinya adalah sebuah kezaliman.
Salah satu contoh bagaimana keadilan dalam Islam diterapkan terlihat dalam sebuah kisah sengketa di zaman Nabi Muhammad SAW. Suatu ketika terjadi pencurian yang dilakukan oleh seorang muslim bernama Thi’mah bin Ubairiq. Ia mencuri baju besi milik tetangga sebelahnya bernama Qatadah. Thi’mah sengaja menitipkan barang curiannya itu kepada seorang Yahudi bernama Zaid bin Samin. Si Yahudi itu tentu saja kaget ketika pemilik baju besi datang mencarinya. Dia hanya bisa menjelaskan dengan sebenarnya bahwa barang itu dia terima dari Thi’mah sebagai titipan, dan penjelasan itu diamini oleh kaumnya. Akan tetapi, Thi’mah sebagai pencuri yang sesungguhnya dibela mati-matian oleh kaumnya sendiri, bahkan mereka mendatangi baginda Nabi SAW dan memberi kesaksian palsu di hadapan beliau bahwa pencurinya adalah seorang Yahudi, bukan Thi’mah. Hampir saja Nabi SAW percaya dan hendak bertindak. Akhirnya, persoalan menjadi clear bahwa si Yahudi tidak bersalah dan Thi’mah adalah pencuri yang harus dihukum dengan turunnya ayat,
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا. وَاسْتَغْفِرِ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا. وَلَا تُجَادِلْ عَنِ الَّذِينَ يَخْتَانُونَ أَنْفُسَهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ خَوَّانًا أَثِيمًا. يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا. (النساء: 105 – 108)
Artinya: Sesungguhnya Kami (Allah) menurunkan al-Kitab (Alqur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, supaya kamu menetapkan hukum di antara manusia sesuai dengan petunjuk yang telah diperlihatkan Allah kepadamu, dan janganlan kamu menjadi penentang (orang-orang yang tidak bersalah) karena membela orang-orang yang berkhianat (105) Dan mintalah ampun kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (106) Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang berkhianat kepada dirinya sendiri, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang suka khianat lagi bergelimang dosa (107) Mereka bersembunyi dari manusia, dan tidak bisa bersembunyi dari Allah sementara Dia (Allah) bersama-sama mereka, ketika suatu malam mereka menetapkan perkataan (keputusan) yang tidak dirido’i Allah, dan Allah mengetahui apa-apa yang mereka lakukan secara menyeluruh. (QS al-Naisa’: 105 – 108)
3.    Musyawarah (الشُّوْرَى)
Salah satu ayat Alqur’an yang menjadi acuan prinsip syura (musyawarah) dalam Islam adalah ayat ke-38 dari sebuah surah Alqur’an yang bernama al-syura,
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ. )الشورى: 38)
Artinya: Urusan mereka (diputuskan melalui) musyawarah di antara mereka. (QS al-Syura: 38)
Akan tetapi, ayat tersebut tidak lebih dari sekedar memberi penjelasan bahwa budaya musyawarah merupakan salah satu sifat terpuji kaum mukmin, dan tidak mengandung petunjuk bahwa musyawarah adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh mereka. Sedangkan keharusan melakukan musyawarah diambil dari firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 159,
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ. (آل عمران: 159)
Artinya: Bermusyawarahlah kalian dalam suatu persoalan.
Perintah bermusyawarah dalam ayat ini pertama-tama tertuju kepada Rasulullah SAW, baik sebagai pribadi atau selaku nabi yang sekaligus pemimpin bagi kaum muslimin, dan berlaku juga bagi umatnya terutama yang sedang mendapatkan amanat menjadi pemimpin.
Prinsip syura dikukuhkan kembali oleh baginda Nabi SAW melalui sabdanya,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا خَابَ مَنِ اسْتَخَارَ وَلاَ نَدِمَ مَنِ اسْتَشَارَ وَلاَ عَالَ مَنِ اقْتَصَدَ.
Artinya: Dari Anas bin Malik, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: tidak rugi orang yang beristikharah dan tidak pernah menyesal orang yang bermusyawarah dan tidak menjadi fakir orang yang hidup ekonomis. (HR Imam Bukhari)  [7]
Dalam salah satu atsar juga ditegaskan,
اِسْتَعِيْنُوْا عَلَى أُمُوْرِكُمْ بِالْمُشَاوَرَةِ
Artinya: Mintalah pertolongan atas urusan-urusan kalian dengan musyawarah. [8]
Di kalangan ulama terjadi perbincangan tentang persoalan-persoalan yang harus dipecahkan melalui musyawarah. Dengan melihat keumuman lafazh الْأَمْرِ dalam ayat وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ, penulis cenderung pada pendapat yang mengatakan bahwa perintah musyawarah berhubungan dengan semua persoalan keagamaa dan keduniaan, seperti dalam ranah politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain, kecuali persoalan-persoalan yang telah memiliki acuan nash qath’iy.[9] Jadi, yang perlu dimusyawarahkan adalah hal-hal yang bersifat ijtihadiyyah, baik diniyah maupun dunyawiyah, dengan catatan hasilnya tidak bertentangan dengan syari’at, tujuan syari’at, dan prinsip-prinsip syari’at.
4.    Kebebasan (الحُرِّيَّة)
Kebebasan merupakan hak melekat yang tidak pernah lepas dari manusia sebagai makhluk yang mendapat anugerah al-karamah (kemuliaan) dari Allah SWT. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT,
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ (الإسراء: 70)
Artinya: Sungguh telah Kami (Allah) muliakan anak keturuan Adam. (QS al-Isra’: 70)
Berkaitan dengan soal ini, Sayyidina Utsman bin ‘Affan RA berkata kepada gubernurnya di Mesir (‘Amr bin ‘Ash),
مَتَى اسْتَعْبَدْتُمُ النَّاسَ وَقَدْ وَلَدَتْهُمْ أُمَّهَاتُهُمْ أَحْرَارا
Artinya: Sejak kapan kamu memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka.[10]
Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib RA juga pernah berkata dalam hal yang sama,
وَلَا تَكُنْ عَبْدَ غَيْرِك وَقَدْ جَعَلَك اللَّهُ حُرًّا
Artinya: Janganlah kamu menjadi hamba orang lain, karena Allah menciptakan kamu dalam keadaan merdeka.[11]
Setiap muslim pasti pernah membuat pernyataan secara lisan bahwa tiada tuhan selain Allah (لآإِلهَ إِلاَّ الله). Pernyataan ini menjadi syarat mutlak bagi setiap orang agar dapat diakui sebagai seorang muslim. Pernyataan tersebut pada hakikatnya adalah deklarasi pembebasan manusia dari belenggu penghambaan manusia lain. Sehingga, penghambaan murni yang sesungguhnya hanya kepada Allah SWT dan ketundukan serta ketaatan hanya kepadaNya semata. Sedangkan manusia berada pada posisi dan derajat yang sama, sehingga tidak ada sebagian manusia yang lebih berhak untuk ditaati dari sebagian manusia lainnya. Akan tetapi, ada pihak-pihak yang Allah mewajibkan manusia menaati perintah-perintahnya, seperti dijelaskan dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ. (النساء: 59)
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kalian kepada Allah, dan patuhlah pula kepada Rasulullah dan juga pada ulil amri di antara kalian. (QS al-Nisa’: 59)
Ini berarti bahwa kewajiban taat kepada Rasulullah SAW, ulil amri, termasuk juga kepada orang tua dan guru adalah dalam kerangka taat kepada Allah. Oleh karena itu, kewajiban taat kepada ulil amri dan sebagainya bersifat tidak mutlak, tetapi diberi syarat dengan perintah-perintah yang tidak bertentangan dengan syari’at.
Allah SWT melalui syari’at-Nya memberi ruang kebebasan bagi hamba-Nya, termasuk di dalamnya kebebasan beragama, kebebasan berfikir dan kebebasan menyatakan pendapat. Ruang ini cukup luas, sehingga perlu dibatasi dengan hal-hal sebagai berikut:
a.    Kebebasan itu tidak menodai harkat dan martabat kemanusiaan sebagai makhluk terhormat;
b.    Tidak mengganggu hak orang lain; dan
c.    Tidak melawan aturan, baik aturan syar’iy ataupun aturan hasil kesepatakan bersama sepanjang itu bernilai baik dan tidak bertentangan dengan syari’at.
Pada prinsipnya, penguasa dan negara harus memberi ruang kebebasan dalam berbagai macam manifestasi keagamaan, pemikiran, politik dan budaya dalam koridor syari’at dan aturan yang berlaku.
5.    Pengawasan Rakyat (رِقَابَة الْأُمَّةْ)
Dalam syari’at Islam, rakyat suatu negara mempunyai hak atau kewajiban untuk mengawasi, mengontrol, menasihati, dan mengkritik pemimpin yang mereka pilih. Kritik yang dimaksud adalah kritik membangun yang berorientasi pada kebaikan bersama, pemimpin dan yang dipimpin. Suatu ketika Rasulullah SAW pernah ditanya oleh sahabatnya, untuk siapa nasihat itu,
عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّمَا الدِّينُ النَّصِيحَةُ ثَلاثًا، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَأَئِمَّةِ الْمُؤْمِنِينَ وَعَامَّتِهِمْ.
Artinya: Dari Tamim al-Dariy, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya  Agama itu tidak lebih dari nasihat (diulang-ulang tiga kali). Beliau kemudian ditanya: untuk siapa nasihat itu wahai Rasul? Beliau menjawab: (nasihat itu) Untuk Allah, kitabnya, Rasulnya, para pemimpin orang-orang mukmin, dan seluruh umat. (HR Imam Ahmad)  [12]
Pada waktu yang sama, seorang pemimpin harus siap dan merasa butuh akan adanya kritik, sebagaimana diperlihatkan oleh Sayyidina ‘Umar dengan pernyataannya,
مَن رَأَى مِنْكُمْ فيَّ اعْوِجَاجًا فَلْيُقَوِّمْهُ
Artinya: Barangsiapa ada yang melihat sesuatu yang bengkok pada diriku maka luruskanlah.
Sesungguhnya nasihat dan kritik rakyat pada pemimpinnya merupakan bagian dari pelaksanaan amr ma’ruf nahy munkar yang menjadi salah satu pilar syari’at Islam. Itulah beberapa prinsip penting yang bila suatu pemerintahan dijalankan dan dibangun di atas prinsip tersebut maka akan terwujudlah hakikat khilafah atau sistem pemerintahan Islam, baik dinyatakan demikian atau tidak.
Adapun tujuan khilafah atau sistem pemerintahan Islam –seperti dikemukakan di awal— adalah terwujudnya maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan syari’ah), demi kebahagiaan dan kesejarhteraan umat dunia-akhirat, atau dengan ibarat lain demi terjaganya Agama dan terwujudnya tata atur dunia yang berkeadilan dan berkemaslahatan (حِرَاسَةُ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةُ الدُّنْيَا). Oleh karena itu, undang-undang, peraturan, dan kebijakan pemerintahan tidak boleh bertentangan dengan syari’at dan kemaslahatan umat.
Selanjutnya, bagaimana hubungan sistem pemerintahan Islam (khilafah) dengan sistem teokrasi, monarki, otokrasi, atau demokrasi? apakah beberapa sistem pemerintahan tersebut islami atau tidak? Berikut ini adalah paparannya.
a.    Teokrasi
Teokrasi adalah sistem pemerintahan yang berdasarkan kepercayaan bahwa pemimpin atau penguasa mendapatkan mandat dan otoritas langsung dari Tuhan dan hanya bertanggung jawab kepada tuhan yang telah memilihnya, sedangkan rakyat wajib tunduk sepenuhnya kepada penguasa.[13] Sistem yang dominan diterapkan pada abad ke-17 dan 18, khususnya di Prancis sebelum terjadi revolusi, jelas tidak islami karena mengabaikan prinsip syura, kesetaraan, keadilan dan pengawasan rakyat.
b.   Monarki
Monarki adalah sistem pemerintahan di mana pemimpin tertingginya naik tahta tidak berdasarkan pilihan rakyat karena suksesi terjadi secara turun temurun. Dari segi prosesnya, sistem monarki ini jelas tidak islami karena mengabaikan prinsp syura, apalagi monarki yang absolut di mana kekuasaan tertinggi ada di tangan seorang raja.
Ketentuan hukum Islam yang tidak membenarkan sistem pemerintahan monarki sedikit bisa menjawab sebuah pertanyaan, apa hikmah ilahiyyah di balik tidak adanya putera laki-laki bagi baginda Nabi SAW yang akan menggantikan posisi beliau sebagai pemimpin umat? Sebab, seandainya putera laki-laki itu ada, dapat dipastikan kaum muslimin akan memilihnya menjadi pemimpin negara menggantikan Nabi SAW dan suksesi kepemimpinan selanjutnya akan terjadi secara turun temurun.
c.    Autokrasi
Autokrasi adalah sistem pemerintahan di mana pemimpin tertingginya kebal terhadap hukum, kehendak kekuasaannya tidak dapat dihalangi oleh siapa pun, dan kebebasan rakyat dengan pengertian yang sesungguhnya menjadi sesuatu yang tak bernilai baginya.[14] Dengan demikian, sistem ini sangat bertolak belakang dengan sistem pemerintahan Islam yang dibangun di atas prinsip syura, kebebasan, persamaan dan keadilan terhadap siapa pun, tak terkecuali terhadap pemerintah. Sedangkan apa yang pernah terjadi dalam sejarah bahwa ada khalifah atau pemimpin kaum muslimin yang bertindak sewenang-wenang, bahkan zalim, itu adalah di luar tanggung jawab Islam dan sangat mencoreng nama baik Agama ini.
d.   Demokrasi
Sistem demokrasi adalah sistem pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, sehingga apa yang menjadi kehendak rakyat tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun.[15] Maka, segala aturan, ketentuan dan kebijakan yang diputuskan oleh rakyat melalui wakil-wakil mereka di parlemen, baik berdasarkan suara mufakat atau suara mayoritas, harus dilaksanakan oleh pemimpin eksekutif. Inilah demokrasi menurut apa yang dipahami dan diterapkan di dunia barat dan beberapa negara sekarang ini. Sistem ini memiliki beberapa prinsip yang relatif sama dengan prinsip pemerintahan Islam, yaitu menegakkan prinsip persamaan, keadilan, dan pengawasan rakyat. Namun ada satu hal yang membuat sistem ini tidak Islami, yaitu kemutlakan kehendak rakyat yang tidak dapat dianulir kecuali oleh rakyat sendiri, sementara Islam mengapresiasi kehendak rakyat sebagai keputusan yang harus dilaksanakan apabila tidak bertentangan dengan syari’at. Dalam konteks ini Allah SWT berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ. (الأحزاب: 36)
Artinya: Tidak ada pilihan lain bagi seorang Mukmin laki-laki dan perempuan tentang urusan mereka, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan. (QS al-Ahzab: 36)
Model demokrasi ini bisa menjadi sistem yang islami bila kedaulatan dan kehendak rakyat tidak bersifat mutlak, melainkan dengan catatan harus tidak bertentangan dengan syari’at.
Negara Islam yang berbasis pada sistem khilafah idealnya harus menyatu sehingga hanya ada satu negara Islam di seluruh dunia yang dipimpin oleh seorang Khalifah bergelar Amirul Mukminin yang menguasai seluruh wilayah tempat domisili kaum muslimin. Dengan demikian, tujuan izzul islam wa al-muslimin (Islam yang kuat dan kaum muslimin yang jaya) akan menjadi gampang terwujud.
Apa yang ideal ini pernah terjadi dalam sejarah tetapi tidak berlangsung lama, yaitu hanya dalam waktu tidak lebih dari tiga abad terhitung dari zaman Rasulullah SAW. Setelah itu, Negara Islam membelah menjadi beberapa negara, misalnya berdiri negara Umawiy yang ke-2 di Spanyol (317-423 H.), khilafah Fathimiyyah di Maroko (267-567 H.), kemudian khilafah ini pindah ke Mesir pada tahun 372 H.[16] Menurut hemat penulis, menyatunya negara khilafah adalah tujuan ideal yang perlu diperjuangkan dengan tetap memerhatikan kondisi riil secara bijak dan penuh hikmah yang dibangun di atas dua kaedah berikut:
اَلْأَخْذُ بِأَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ
Artinya: Mengambil yang lebih ringan di antara dua kemudaratan.
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Artinya: Menolak mafsadah (kerusakan) diprioritaskan atas memperoleh mashlahah (kemaslahatan).
Sebagai suatu catatan, menyatunya negara khilafah tidaklah menjadi syarat sahnya negara menurut pandangan Islam, karena yang terpenting adalah terwujudnya maqashid al-syari’ah melalui suatu negara dengan sistem pemerintahan yang dibangun di atas prinsip-prinsip Islam seperti musyawarah, keadilan, persamaan, dan pengawasan rakyat.




[1] Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Habib al-Mawardiy, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Kairo: Dar al-Hadits, tt.), hlm. 15.
[2] Muhammad bin Isa al-Turmudziy, Sunan al-Turmudziy, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa al-Baniy al-Halabiy, 1975), cet. Ke-2, Juz V, hlm. 389.
[3] Muhammad bin Ismail bin Shalah al-Shan’aniy, Subul al-Salam, (ttp.: Dar al-Hadits, tt.), Juz II, hlm. 189.
[4] Abu al-‘Ala Muhammad Abdurrahman, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ al-Turmudzi, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), Juz VI, hlm. 64.
[5] Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Qursyiy, al-Bidayah wa al-Nihayah, (ttp.: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabiy, 1988), cet. ke-1, Juz VIII, hlm. 118.
[6] Tsiqatullah Ibnu ‘Asakir, Tabyin Kadzibi al-Muftari fima Nusiba ila al-Imam Abi al-Hasan al-Asy’ariy, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1404 H.), cet. Ke-3, hlm. 101.
[7] Nuruddin Ali bin Abu Bakr al-Haitsamiy, Majma’ al-Zawa’id wa Manba’ al-Fawa’id, (Kairo: Maktabah al-Quds, 1994), Juz VIII, hlm. 96.
[8] Abd. al-Ra’uf bin Tajul Arifin al-Manawiy, Faidl al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, (Mesir: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1375 H.), cet. ke-1, Juz V, hlm. 442.
[9] Al-Jashshash, Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-Arabiy, 1984), Juz II, hlm. 41.
[10] Ali Abu Hasan bin Abd al-Hayyi al-Nadawiy, Madza Khasira al-‘Alam bi Inhithath al-Muslimin, (Mesir: Maktabah al-Iman, tt.), hlm. 106.
[11] Ali Muhammad bin Muhammad bin Habib al-Mawardiy, Adab al-Dun’ya wa al-Diin, (ttp.: Dar Maktabah al-Hayah, 1986), hlm. 330; Lihat juga: Muhammad bin al-Husain Ibnu Hamdun, al-Tadzkirah al-Hamduniyyah, (Beirut: Dar Shadir, 1417 H.), cet. Ke-1, hlm. 151.
[12] Abu Bakr bin Abu Syaibah, Musnad Ibnu Abi Syaybah, (Riyadl: Dar al-Wathan, 1997), cet. ke-1, Juz II, hlm. 330.
[13] Muhammad Yusuf Musa, Nidham al-Hukmi fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Katib al-‘Arabiy, 1963), hlm. 211.
[14] Ibid, hlm. 212-213.
[15] Ibid, hlm. 214.
[16] Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibni Khaldun, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabiy, tt.), hlm. 292.